Rabu, 18 Februari 2015

My Dear "FRIEND"

Dalam pertemanan sering terjadi banyak masalah. Seringkali perbedaan karakter, perbedaan pendapat, perbedaan banyak hal yang menyebabkan masalah itu sendiri. Sifat dasar manusia memang memiliki ego masing-masing. Ada yang bisa menahannya namun seringkali ego tidak mampu untuk di tahan lagi. Sifat dasar manusia lagi yaitu tidak menyadari kesalahannya dan selalu mencari pembenaran atas sikapnya. Entah salah atau memang benar, tetapi untuk meyakinkan diri atas kesalahan itu perlu waktu untuk menyadarinya.


Ketergantungan atas sahabat bukanlah jalan keluar. Mereka bukan malaikat yang selalu ada untukmu. Sahabat bukanlah budak yang akan selalu menuruti yang kamu inginkan. Mereka manusia biasa yang juga memiliki kekurangan sama halnya denganmu.Jadi jangan pernah sekalipun bergantung dengan teman ataupun sahabat. Bersujudlah kawan, jadikan tempat sujudmu menjadi kawan terbaikmu.Hanya kepada Allah SWT tempatmu bergantung.


Biarlah orang melihatmu dengan kacamata mereka sendiri. Sebaik apapun orang namun pasti memiliki kelemahan pula, namun biarlah manusia berkata apa, namun tetap bersemangat untuk berbuat baik walaupun itu dinilai negatif oleh orang lain. Bukan mengabaikan "Hablum Minna Naas" (hubungan sesama makhluk) namun jangan pernah menggantungkan masalahmu, sedih dukamu, dan apapun aib yang menjadi bebanmu diketahui oleh khalayak.


Keluarga adalah solusi paling ampuh ketika memang masalah sudah tak tertahankan. kedua orang tua kita ataupun saudara kandung InsyaAllah mampu memberikan motivasi dan pemecahan akan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, jagalah keluargamu, sayangi mereka, dan buatlah mereka bangga kepadamu.



Selasa, 09 Oktober 2012

KUNCI BAHAGIA

Bahagia merupakan kata sifat yang selalu diinginkan oleh semua orang. Baik yang belum berpasangan, yang sudah berpasangan, yang muda dan yang tua, baik kaya ataupu miskin. Bahagia lebih identik dengan kekayaan, kesehatan, rupa yang elok dan segala sesuatu yang dapat dilihat secara lahiriah. Sesungguhnya bahagia bukan terukur dari seberapa seringnya kita tertawa dan jarang bersedih, bukan terukur dari jumlah harta yang kita miliki, bahkan rupa yang menawan. Sesungguhnya keseluruhan rejeki tersebut bukan milik kita, melainkan nikmat dari Allah SWT. Di dalam surat Ar-Rahman selalu disebutkan " Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" secara berulang-ulang.

Sesungguhnya begitu banyak nikmat yang Dia berikan kepada umat-Nya. Bukan kekayaan ataupun kemiskinan yang kita miliki, namun kecukupan. Tergantung bagaimana seseorang mampu mengambil hikmah dari keseluruhan hidupnya. Bukan tangisan yang membuat kita sedih, melainkan keputusan yang belum diperhitungkan matang-matang sehingga timbul penyesalan, namun dari penyesalan tersebut akan timbul doa-doa yang selama ini hilang dari hati dan mulut kita. Penyesalan bukanlah indikasi dari kegagalan namun saatnya untuk memperkuat diri untuk bangkit kembali. Begitupula dengan penyakit yang diberikan kepada kita. Penyakit tersebut hinggap bukan karena tidak ada alasan, melainkan sebuah pengguguran dari dosa-dosa kita.

Sungguh semua ini hanya mampu mudah untuk diucapkan dengan perkataan, namun aplikasinya terkadang begitu berat. Keikhlasan dan Rasa Syukur yang harus selalu ditingkatkan akan membuat hidup ini terasa begitu ringan. Walaupun sebagai manusia biasa kita sering lalai dalam kesesatan duniawi, namun ada satu titik dimana tubuh ini, pikiran dan hati kita selalu ingat kepada Sang Pencipta. Sudah seharusnya kita yang sangat kurang pengetahuan agama, sedikit demi sedikit mulai mendekatkan diri pada-Nya. Jika tidak mampu untuk berzakat, maka berpuasalah, jika masih belum mampu maka sholat sunah diperbanyak, jika masih belum mampu lagi, jalankan Sholat wajib. Sedikit demi sedikit, namun InsyaAllah akan mampu memberikan ketenangan jiwa dan raga.

Semoga kutipan ini bermanfaat ssetidaknya bagi diri saya sendiri, dan saya sangat bersyukur jika mampu bermanfaat bagi pembaca. Amin

Minggu, 19 Februari 2012

say goodbye

Cerita adalah kehidupan
Mimpi, angan, asa, berada dalam lingkupan
Meraih kegagalan, menjadi suatu keterpurukan
Kini hanya ada aku dan kesendirian
Ketika tak ada lagi sepenggal harapan
Ketika hati ini terbelenggu suatu kesengsaraan
Ketika tak ada lagi yang mempedulikan
Bahkan mendengarkan
                Terlarut aku dalam suatu kenangan
                Kasih sayang dan suatu bentuk perhatian
                Tenggelam  dalam suatu kisah percintaan
                Pihak ketiga  menjadi suatu hal yang menyenangkan
                Segalanya menjadi terabaikan
Selama rasa ini ada, selama itu pula kan bertahan
Namun semuanya tak seindah dugaan
Semua berakhir dengan penyesalan
Tak dapat lari dari suatu kebimbangan
Suatu hal tersulit untuk memutuskan
                Berawal dari suatu kesalahan
                Ternyata hanya akan berakhir dengan suatu kepahitan
                Mungkin belum waktunya aku merasakan ketulusan
                Saatnya bangkit dari keterpurukan
                Bukan cinta tetapi cita dalam suatu impian
                Ingin rasanya terbang dalam suatu angan
                Berlari hingga tergapainya masa depan

cerpen---20-2-2012


THE MEANING OF MY LIFE
Gemercik  air hujan masih terdengar petang ini. Kuberikan jaketku yang  tebal pada adik tiriku yang menggigil kedinginan. Kami berdua duduk di ruang tamu untuk menunggu ayah pulang. Ruangan ini terasa begitu besar dan pengap, air hujan yang menetes dari genteng yang bocor terasa bagai irama nan sendu ketika ayah tak kunjung cepat pulang. Gubuk kami yang terletak di pedesaan Kabupaten Tuban memang berada di daerah yang terpencil, sehingga di waktu hujan seperti ini, sepeda tua  ayah sering terperosok, sehingga kadang ayah memilih untuk menuntun sepeda kesayangannya itu daripada menaikinya. Ayahku sosok pekerja keras yang sangat rendah hati, sehingga setelah beliau memperoleh gelar S.Pd, beliau mengabdikan dirinya di sebuah sekolah pelosok yang gajinya memang tidak seberapa. Namun karena kegigihannya, Beliau di angkat menjadi kepala sekolah yang bahkan dari tiga bulan yang lalu sampai saat ini beliau tidak menerima gaji selayaknya kepala sekolah. Ayah selalu mengajarkanku untuk selalu bersyukur atas apa yang kita peroleh, tapi bukan berarti pasrah, namun keterbatasan membuat diri kita selalu berjuang untuk mendapatkan anugerah yang lebih baik. Sedikit tapi bermanfaat, itulah kata-kata yang selalu beliau sampaikan padaku. Walaupun memang penghasilan ayah tidak seberapa, namun ibu tiriku membuka kios kelontong kecil-kecilan di rumah, kadang membuat kue-kue pasar yang nanti ayah juga menjualnya di kantin sekolah. Tetangga-tetanggaku juga sering memberikan cukup beras dan “nasi berkat” karena memang kehidupan di desa yang masih sering mengadakan syukuran dan pengajian, sehingga dari sejak ibu kandungku meninggal setelah melahirkanku hingga sekarang, aku tak pernah merasa kekurangan. Dan aku merestui  ketika ayahku menikah lagi dengan  wanita yang saat ini tengah membuatkan teh hangat untuknya. Walaupun memang aku tidak begitu akrab dengannya, namun aku menyayangi  adik tiriku, aku yakin wanita ini yang dapat menerima keadaan ayahku, apapun dan bagaimanapun itu.
            Hari ini merupakan hari yang terpenting bagiku, setelah aku lulus dari sebuah SMA Negeri di Tuban dan melalang buana untuk mencari ilmu lagi di sebuah universitas di kota-kota lain, dengan segala tekad dan nekad, akhirnya aku diterima di universitas yang lumayan kata orang-orang kota, namun bagiku itu suatu hal yang sangat istimewa, buktinya, tak ada satu orangpun yang tahu universitas itu.
Ketika aku berlari dari kantor pos yang hanya berjarak kurang dari satu kilo dari gubukku, dan banyak yang bertanya padaku,
“ Girang sekali kau Cong1, ono opo?”
Cong adalah panggilan untuk anak lelaki di desaku.
“Ini Lek, aku di terima di universitas negeri di Surabaya, Institut Teknik Harapan Jaya, seneng aku”, jawabku sambil meringis”.
“Lhoalah opo iku? Kok gak kerja wae Cong? Kasihan bapakmu…”
Dan inilah yang selalu diucapkan hampir semua orang yang kutemui hari ini, sebagian lagi hanya mengucapkan selamat dan semoga ayahku kuat membiayaiku kuliah. Rasanya aku menyesal dengan kegembiraanku hari ini.
            Telah terdengar suara surau dari kejauhan yang menyadarkanku dari semua lamunan ini. Terlihat ayah yang basah kuyup dengan tas kerja lusuhnya tersimpan dalam tas kresek besar agar air hujan tidak merusak dokumen penting di tasnya. Ibu tiriku langsung menghampiri beliau,
“Ndak apa-apa to Pak? Wonten teh anget niku, tak bethaaken tasipun” (tidak apa-apa Pak? Ada teh hangat itu, saya bawa tasnya)
“Nggih Bu, lha iku sing enak”, (iya Bu, lha itu yang enak) jawab ayah sambil mencium kening ibu tiriku.
Melihat ayah yang sering basah kuyup akhir-akhir ini karena musim hujan, aku segera mengambil handuk ayah di gantungan dekat kamar mandi dan memberikannya pada ayah. Tubuh ayahku yang terlihat semakin kurus tiap harinya, tak bisa memungkiri bahwa dirinya menggigil kedinginan. Ingin rasanya aku menggantikannya, mengapa bukan diriku saja, yang lebih kuat dari ayahku,yang harus banting tulang. Namun pada kenyataanya aku memang seorang anak yang tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu ayah.
“Heh Mad, kok diem wae tho? Kene lungguh dhisik. Katane Ibu ada yang mau kamu
1. Cong: Panggilan anak lelaki untuk daerah Tuban
bicaraken ke Bapak, opo?” (heh Mad, kok diam saja? Sini duduk dulu, kata Ibu ada yang mau kamu bicarakan ke Bapak, apa itu?) tanya ayah sambil menikmati teh hangat buatan Ibu tiriku.
“Eh, gini Pak,Mamad cuma mau bilang kalo…. Kalo..hmmm…”
Tiba-tiba perasaanku jadi tidak karuan, antara ingin memberitahukan bahwa aku di terima di Universitas Negeri, tapi aku tidak tega melihat ayahku harus banting tulang lagi. Hatikku mulai berkecamuk, aku ingin bekerja saja, namun aku juga tidak ingin pendidikanku terhenti sampai SMA saja.
“ Abang di terima Pak, di Institut Teknik Harapan Jaya pula. Abang hebat Pak,” sahut adikku tiba-tiba.
Aku tersentak, dan ayah langsung terbelalak antara kaget, tidak percaya, dan aku tak tahu apa lagi yang ada di benaknya saat ini. Beliau yang dulu tidak tahu tentang kepergianku ke Surabaya untuk mengikuti tes tersebut, sekarang mengetahui bahwa anaknya bisa diterima di universitas kebanggaannya. Ayah memang pernah bertekad menyekolahkan abangku di universitas tersebut, namun karena abang ingin cepat bekerja walau hanya lulusan SMA, jadi ayah tidak memaksakannya.  Memang saat pelaksanaan tes di universitas itu, aku izin pada ayah untuk berlibur bersama teman-temanku sekelas, karena memang saat itu sudah libur kelulusan. Aku hanya bermodalkan nekad saja, tidak tahu arah dan tidak ada cukup uang, namun hanya keyakinan saja yang aku punya. Setelah bertanya kesana kemari, walaupun belum membuat SIM, namun ternyata aku sampai di tujuan. Uang pendaftaran saja aku peroleh dari tabunganku dan tabungan abang, karena aku tidak berani untuk meminta pada ayah, sehingga aku terpaksa berbohong pada beliau tentang tujuan keberangkatanku.
“Subhanallah, Alhamdulillah,, Anakku…. Bapak, Bapak…Bapak tidak dapat berkata apa-apa lagi, Terimakasih Ya Allah,” kata ayah dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Terlihat Ayah begitu puas mendengar berita ini, dan aku tidak menyangka Ayah akan seperti ini. Tubuhku serasa ingin jatuh ke pelukan Ayah,dan ternyata hal ini sudah terjadi tanpa aku sadari. Ayah mendekapku begitu erat, begitupula adik kecilku yang lucu ini. Ibu tiriku benar-benar tersentuh melihat hal ini, segera memegang bahu ayahku sambil sedikit memijatnya perlahan. Dan aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang nyata dalam kehangatan keluargaku.
“Mamad pasti cari beasiswa Pak, Bapak tidak perlu memikirkan biaya kuliahku. Mamad janji akan bersungguh-sungguh untuk ini, “ bisikku pada Ayah dengan sedikit sesenggukan.
“Mad, Bapak memang tak punya cukup uang, tapi inilah harapan Bapak. Orang tua wajib membiayai anaknya, kamu tidak perlu takut tentang biaya, itu urusan Bapak dan Ibu, Kami seneng anak Bapak bisa berpendidikan lebih, karena itu yang mengangkat derajat kehidupan kita kelak,” jawab Ayah sambil mengusap kepalaku.
“Abang yang akan bantu Mamad Pak, Mamad juga akan ke Surabaya secepatnya untuk mengajukan beasiswa, karena di surat pemberitahuan tertulis untuk mahasiswa kurang mampu, bisa mengajukan beasiswa ke rektorat sampai minggu depan,” sahutku.
            Ayah hanya tersenyum bangga. Ibu segera menyiapkan makan malam untuk kami sekeluarga. Malam ini hujan terus mengguyur desa kami, terasa begitu sejuk ketika aku merasakan kehangatan di hati ini. Tak lupa aku mengucap syukur berkali-kali. Kuucapkan selamat malam pada langit yang masih memerah mendung dan kepada bidadari tercantikku yang ada di seberang sana sedang merindukanku. Lengkap sudah hidupku kali ini.
************
            Tanggal 20 Agustus tepatnya aku menginjakkan kakiku lagi di Kota Pahlawan ini, bukan untuk sehari dua hari saja, tapi untuk tiga tahun kedepan. Aku memang tidak membawa barang yang begitu banyak, karena memang tidak begitu banyak barang yang aku butuhkan dan di rumahku pun juga tidak ada barang yang banyak. Setelah beberapa bulan aku menunggu hari ini, berpamitan pada orang tua, seluruh orang di kampungku, serta gadis tercantik yang ku kenal di bangku SMA, dan aku harus meninggalkan mereka semua. Semuanya yang menjadi kenangan terindah. Dan apa yang akan aku hadapi di kehidupanku sekarang? Kota besar yang padat penduduk, panas yang menyengat, bahkan polusi yang tersebar hampir di seluruh penjuru kota.
            Awalnya  aku mulai sedikit bermain-main dengan keadaan baruku. Kebebasan yang aku peroleh saat ini, begitu terasa hidup. Jurusanku yang memang dikuasai oleh lelaki dan hanya terdapat segelintir perempuan, membuat aku sering “cangkrukan” alias nongkrong di pinggir jalan sambil “ngopi” sampai hampir subuh. Teman-temanku yang sering mengajariku untuk berkata hal-hal yang memang tidak sepatutnya di ucapkan, sudah fasih aku mengucapkannya. Bahkan gadis tercantikku sudah menjadi nomor dua dalam pikiranku, karena ternyata di kota ini, banyak sekali gadis cantik yang berlenggok di hadapan umum dengan pakaian minim, sungguh surga dunia.
            Gadisku yang saat ini jauh di Bandung harus menjalani hubungan jarak jauh denganku. Dan memang sebagai lelaki aku masih belum bisa mengendalikan emosiku. Kadang kalut dan rindu tidak ada bedanya. Sari memang sangat mengertiku. Kesabarannya yang selalu membuatku tidak dapat berpaling darinya. Namun jarak memang mengganggu hubungan kita. Tetapi aku mulai tidak menghiraukan keadaan ini.
***********
            Ospek jurusan dimulai. Di pagi buta ini aku harus berkumpul di halaman kampus untuk outbond, begitu informasi yang kudapat dari senior kemarin. Kami para mahasiswa baru di perintahkan untuk mengenakan baju berwarna hitam, celana panjang berwarna biru donker, sepatu bertalikan rafia, dan rambut yang diharuskan sama satu angkatan.tentulah angkatanku sepakat untuk memangkas habis rambut ini, walaupun karena terlalu panjang liburan, rambutku sudah semakin terlihat ikal. Selain itu, kami diharuskan untuk membawa tas kresek besar berwarna merah sebagai tas kami. Belum cukup hanya itu, tetapi kami ditugaskan untuk membawa air mineral tanpa merk 140lt dan peyek teri dengan ikan teri yang harus dalam posisi berdiri. Parahnya lagi aku mengetahui informasinya kemarin. Begitu pusing otakku memikirkan tugas yang sama sekali tidak penting dari para senior sinting ini. Dan akhirnya aku tidak tidur semalaman untuk menggoreng sebuah peyek teri.
“Jalan jongkok,Dek!!”, seru para senior bego yang kurang kerjaan.
“Tutup telinga, pandangan kebawah, ojok tolah toleh wae (jangan menoleh saja)!”, tambah senior yang lain.
“He! Kamu! Berdiri! Seenaknya tidur disini! Kamu gak niat ya?”, sentak salah satu senior kribo sambil menyundul kepalaku.
“Ha? Iya Mas? Kenapa?”, sahutku sambil gelagapan.Tak terasa aku tertidur saat dibarisan tadi.
“Maksud kamu apa tidur saat seperti ini? Gak sopan!! Push up!!”, kata senior itu dengan nada tinggi.
“Maaf Mas, tadi malam saya tidak sempat tidur, dan saya tidak sadar saat tertidur tadi Mas, maaf”, sahutku dengan kepala menunduk.
“Saya tidak perlu penjelasan! Push Up 20 kali! Cepat!!”, sentaknya dengan mata melotot.
            Cukup sudah penderitaanku hari ini. Badanku benar-benar letih, sakit semua, dan sudah tak sanggup lagi untuk menahan kantukku. Hari sudah menjelang larut malam. Sekitar pukul 23.00 WIB akhirnya para senior tengil membolehkan kita pulang setelah melakukan semua keinginan mereka dan setelah mereka puas tentunya. Seharian aku tidak dapat memegang telepon genggamku, dan aku sudah tak menghiraukan pesan-pesan yang masuk. Langsung aku rebahkan tubuh ini, dan menuju dunia yang begitu indah.
            Langit yang mendung, kabut yang menyeruak di tengah tempat aku berdiri saat ini di tempat yang sidah taka sing bagiku. Rumah ini terasa begitu haru ketika lampu yang menyinarinya semakin redup. Sosok lelaki tua yang tengah duduk di ruang tamu sendirian hanya tersenyum padaku dengan matanya yang begitu sayu, seolah menggambarkan bahwa beliau sangat bahagia memilikiku.
“Bapak….” Panggilku pada sosok lelaki itu.
Namun tak ada jawaban dari mulutnya. Aku bergerak mendekatinya, dan ayah menyambutnya dengan mengusap kepalaku. Matanya kembali melihatku kemudian beralih melihat sosok lain di belakangku, abang, adik, dan ibu tiriku. Mereka berdiri sambil menangis tak tahu mengapa. Rasanya kepalaku semakin berat, nafasku serasa sesak, serta keringat dingin mulai keluar dari pori-poriku. “GUBRAK!!!”.
Aku terjatuh dari tempat tidurku, dan ternyata tadi hanya mimpi. Aku melihat jam sambil mengusap mataku. Namun karena begitu gelap, aku meraba meja dekat tempat tidurku untuk mencari telepon genggamku. Masih terlalu pagi ternyata untuk bangun di tengah kelelahanku ini. Tepat pukul 03.00 WIB, aku terbangun gara-gara mimpi yang aku tak tahu apa artinya. Saat kuputuskan untuk tidur kembali, rasanya ada yang ganjil dari mimpiku barusan. Karena tak dapat memejamkan mata untuk beberapa saat, aku putuskan untuk membaca pesan yang masuk di telepon genggamku yang sudah kuno ini. Ada 12 pesan, dan aku membuka satu persatu. Pesan yang pertama dari pacarku, Sari, dia memintaku untuk tidak menghubunginya lagi. Dan aku memutuskan untuk tidak membalasnya.
Pesan yang selanjutnya dari abangku. Pesan ini merubah semua yang ada di benakku saat ini. Tanganku gemetar dan mulutku sudah tak bisa berucap apapun kecuali, Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun. Aku tak bisa mempercayai hal ini akan terjadi secepat ini, bahwa aku telah menjadi yatim piatu. Tak cukupkah Tuhan mengambil ibuku yang bahkan aku belum sempat mengenalnya, dan sekarang aku harus menghadapi keadaan bahwa ayahku juga harus meninggalkanku untuk selamanya. Bahkan aku tak dapat melihatnya untuk terakhir kali ataupun menemaninya di saat-saat kritisnya dan mengungkapkan bahwa diriku sangat menyayangi beliau.
Kuambil ransel dan dompetku, segera aku bersiap untuk pulang ke Tuban. Aku tidak mempedulikan apapun, hanya ayah dan ayah yang ada di benakku. Walaupun besok ada ospek tambahan, kumpul satu angkatan, dan asistensi2 untuk mata kuliahku, aku sama sekali tidak peduli. Kukendarai motor pinjaman dari teman sekamarku, otakku sudah tak dapat berpikir apapun, dan hanya penyesalan yang ada dalam benakku. Aku yang selama ini hanya memikirkan diriku saja tanpa harus tahu keadaan orang tuaku, aku yang selama ini hanya bersenag-senang tanpa memikirkan ayahku yang bekerja keras untuk kuliahku, dan aku yang begitu bodoh baru membaca pesan tersebut, pesan yang sudah dikirim sejak tadi pagi, dan hanya gara-gara ospek tidak penting itu aku harus mengabaikan pesan yang begitu penting ini. Aku mulai menyalahkan orang lain, hatiku berkecamuk, seandainya aku tidak diterima di kampus ini, aku akan selalu ada
2.    Asistensi : laporan hasil praktikum dari suatu mata kuliah
untuk ayah, aku dapat membantu ayah kapanpun beliau membutuhkanku, dan aku tidak terjebak dalam kesenangan sesaat di kota besar ini. Aku begitu menyesali hidupku, menyesali takdir yang harus aku terima.
Sesampainya aku di kampungku, orang-orang sudah banyak berkumpul dirumahku walaupun masih pagi. Air mata ini sudah tak dapat ku tahan lagi, ayah sudah dimakamkan dan aku tak dapat melihatnya untuk terakhir kali. Keluargaku terlihat duduk di ruang keluarga sambil duduk melingkar membaca ayat suci. Abang yang pertama kali melihat kehdiranku, langsung memelukku erat. Air mata ini semakin deras, membuktikan bahwa aku lemah sebagai seorang lelaki yang tak dapat berbuat apa-apa untuk keluarganya sendiri.
Abang membawaku keluar kearah kebun belakang rumah, disini ia berkata sedikit tentang ayah.
“ Tak ada gunanya dirimu menyesali semua ini, ini bukan akhir dari segalanya melainkan awal dari segalanya. Air mata tidak akan membuat ayah bahagia disana. Lihat sinar matahari yang menyinarimu saat ini, seperti itulah perhatian ayah kepada kita, tak akan pernah ada kata-kata lelah walaupun kita tidak dapat melihatnya, namun akan selalu kita rasakan. Ayah ingin kita menjadi kuat sebagai lelaki, kau tak usah kawatir tentang kuliahmu, kau hanya perlu bersungguh-sungguh, dan percayalah bahwa kebahagian bukan berasal dari materi, adanya orang tua yang membimbing dan menyayangi kita setiap hari, tetapi kebahagiaan ada di sekitar kita, jangan rasakan kepedihan ini, namun belajarlah untuk ikhlas, dan kamu akan tenang rasanya”, kata abangku dan ia membiarkanku sendiri untuk beberapa saat.
            Ayah memang sosok yang selalu ikhlas dalam menjalani hidupnya. Beliau tak pernah mengeluh, tak pernah merasakan kepedihan yang sebenarnya beliau derita, namun dengan kasih saying, dengan kesabaran, dengan kegigihan, beliau menjadi sosok yang luar biasa di masyarakat bahkan di mataku beliau adalah pahlawan yang paling kuat. Darah yang mengalir padaku adalah darah ayahku, dimana aku akan melanjutkan apapun yang beliau lakukan demi orang-orang tersayangnya.
Aku tak akan  menyerah dengan keadaan. Sudah bukan waktunya aku hidup dalam dunia “seandainya” lagi. Aku menegakkan kepalaku dan berjalan masuk ke dalam. Ternyata di sana sudah banyak teman-teman kuliahku yang datang memberikan semangat buatku, bukan hanya itu, tetapi para senior yang begitu keras di mataku, ternyata juga datang untuk sekedar memberikan wejangan tentang kehidupan. Aku salah telah menilai semua ini. 
***********
Hari-hariku tak lagi kujalani dengan penyesalan, memang tak ada seorang gadis lagi yang menyayangiku, tak ada orang tua yang selalu merindukan anaknya, namun ada cinta dan kasih sayang yang selalu aku dapatkan tiap harinya dari orang-orang di sekelilingku. Cahaya matahari membuktikan bahwa ayah dan ibuku masih selalu memberiku semangat untuk melakukan hal yang bermanfaat tiap harinya. Disaat teman-temanku selalu mengeluh tentang uang, aku hanya bisa tersenyum. Disaat temen-temanku hanya fokus untuk belajar di bangku kuliah, aku belajar di segala tempat yang aku datangi. Kehadiran banyak teman disampingku membuat aku semakin merasa bahagia dan bersyukur telah dianugerahi teman-teman yang selalu membantuku, memperhatikanku, dan memberiku semangat yang luar biasa hebat. Pelajaran dalam hidupku yang paling berharga adalah bahwa kehidupan kita ini hanya beberapa saat, dan saatnya kita berguna untuk orang lain, bukan haya memikirkan diri sendiri. Ayah yang telah memberikanku pelajaran tentang kebahagiaan hidup, bahagia tidak dapat dicari, karena semakin kita mencari, semakin kita tak akan mendapatkannya, namun kebahagiaan yang sesungguhnya ada di sekitar kita,rasakanlah dan nikmatilah. Hidup ini bukan dapat kita jalani tetapi sulit, melainkan hidup ini sulit namun kita bisa menjalaninya. Dan aku bersyukur telah dilahirkan sebagai Mamad Jatikusumo.
             





NARASI:
            Mamad Jatikusumo, lelaki yang berasal dari keluarga yang penuh dengan keterbatasan materi, namun memiliki tekad kuat untuk mewujidkan keinginan dirinya sendiri serta ayahnya. Bermodalkan niat dan nekad, ia akhirnya di terima di sebuah Universitas Negeri di Surabaya. Namun, setelah menjalani kehidupan kota yang penuh dengan situasi yang menyenangkan, ternyata ia harus menghadapi kenyataan bahwa ayahnya,sosok yang sangat ia sayangi meninggal dunia dan di saat yang bersamaan ia di tinggalkan oleh gadis tercintanya. Hidupnya yang terasa lengkap, hancur sudah melihat takdir yang sudah menjadi suratan Tuhan bahwa saat ini dia telah menjadi seorang yatim piatu. Namun, dengan bantuan orang-orang di sekitarnya, ia dapat merasakan apa itu kehidupan yang bahagia sesungguhnya. Memandang kehidupan secara luas, bukan hanya dari satu sisi, membuat dirinya begitu spesial di lingkungannya. Keikhlasan membuat seorang Mamad Jatikusumo bangkit untuk mengetahui arti kehidupan.

Sabtu, 18 Februari 2012

18 Februari 2012- first time

jika sendiri janganlah merasa sepi,
ada Allah yg sedang mengawasi..
jika sedih janganlah pendam di hati,
ada Allah tempat berbagi..
jika gagal janganlah putus asa,
ada Allah tempat meminta...
jika bahagia janganlah menjadi lupa,
ada Allah tempat memuja...
Ingatlah Allah selalu ukirkan nama-Nya di hatimu
Rindui Dia di setiap langkahmu
Cintai Dia tetap no satu

Allah selalu bersama mu dan senantiasa memberikan yang terbaik dalam hidupmu