karya perempuan
Menulis dan menjadilah bermanfaat
Rabu, 18 Februari 2015
Selasa, 09 Oktober 2012
KUNCI BAHAGIA
Bahagia merupakan kata sifat yang selalu diinginkan oleh semua orang. Baik yang belum berpasangan, yang sudah berpasangan, yang muda dan yang tua, baik kaya ataupu miskin. Bahagia lebih identik dengan kekayaan, kesehatan, rupa yang elok dan segala sesuatu yang dapat dilihat secara lahiriah. Sesungguhnya bahagia bukan terukur dari seberapa seringnya kita tertawa dan jarang bersedih, bukan terukur dari jumlah harta yang kita miliki, bahkan rupa yang menawan. Sesungguhnya keseluruhan rejeki tersebut bukan milik kita, melainkan nikmat dari Allah SWT. Di dalam surat Ar-Rahman selalu disebutkan " Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" secara berulang-ulang.
Sesungguhnya begitu banyak nikmat yang Dia berikan kepada umat-Nya. Bukan kekayaan ataupun kemiskinan yang kita miliki, namun kecukupan. Tergantung bagaimana seseorang mampu mengambil hikmah dari keseluruhan hidupnya. Bukan tangisan yang membuat kita sedih, melainkan keputusan yang belum diperhitungkan matang-matang sehingga timbul penyesalan, namun dari penyesalan tersebut akan timbul doa-doa yang selama ini hilang dari hati dan mulut kita. Penyesalan bukanlah indikasi dari kegagalan namun saatnya untuk memperkuat diri untuk bangkit kembali. Begitupula dengan penyakit yang diberikan kepada kita. Penyakit tersebut hinggap bukan karena tidak ada alasan, melainkan sebuah pengguguran dari dosa-dosa kita.
Sungguh semua ini hanya mampu mudah untuk diucapkan dengan perkataan, namun aplikasinya terkadang begitu berat. Keikhlasan dan Rasa Syukur yang harus selalu ditingkatkan akan membuat hidup ini terasa begitu ringan. Walaupun sebagai manusia biasa kita sering lalai dalam kesesatan duniawi, namun ada satu titik dimana tubuh ini, pikiran dan hati kita selalu ingat kepada Sang Pencipta. Sudah seharusnya kita yang sangat kurang pengetahuan agama, sedikit demi sedikit mulai mendekatkan diri pada-Nya. Jika tidak mampu untuk berzakat, maka berpuasalah, jika masih belum mampu maka sholat sunah diperbanyak, jika masih belum mampu lagi, jalankan Sholat wajib. Sedikit demi sedikit, namun InsyaAllah akan mampu memberikan ketenangan jiwa dan raga.
Semoga kutipan ini bermanfaat ssetidaknya bagi diri saya sendiri, dan saya sangat bersyukur jika mampu bermanfaat bagi pembaca. Amin
Sesungguhnya begitu banyak nikmat yang Dia berikan kepada umat-Nya. Bukan kekayaan ataupun kemiskinan yang kita miliki, namun kecukupan. Tergantung bagaimana seseorang mampu mengambil hikmah dari keseluruhan hidupnya. Bukan tangisan yang membuat kita sedih, melainkan keputusan yang belum diperhitungkan matang-matang sehingga timbul penyesalan, namun dari penyesalan tersebut akan timbul doa-doa yang selama ini hilang dari hati dan mulut kita. Penyesalan bukanlah indikasi dari kegagalan namun saatnya untuk memperkuat diri untuk bangkit kembali. Begitupula dengan penyakit yang diberikan kepada kita. Penyakit tersebut hinggap bukan karena tidak ada alasan, melainkan sebuah pengguguran dari dosa-dosa kita.
Sungguh semua ini hanya mampu mudah untuk diucapkan dengan perkataan, namun aplikasinya terkadang begitu berat. Keikhlasan dan Rasa Syukur yang harus selalu ditingkatkan akan membuat hidup ini terasa begitu ringan. Walaupun sebagai manusia biasa kita sering lalai dalam kesesatan duniawi, namun ada satu titik dimana tubuh ini, pikiran dan hati kita selalu ingat kepada Sang Pencipta. Sudah seharusnya kita yang sangat kurang pengetahuan agama, sedikit demi sedikit mulai mendekatkan diri pada-Nya. Jika tidak mampu untuk berzakat, maka berpuasalah, jika masih belum mampu maka sholat sunah diperbanyak, jika masih belum mampu lagi, jalankan Sholat wajib. Sedikit demi sedikit, namun InsyaAllah akan mampu memberikan ketenangan jiwa dan raga.
Semoga kutipan ini bermanfaat ssetidaknya bagi diri saya sendiri, dan saya sangat bersyukur jika mampu bermanfaat bagi pembaca. Amin
Minggu, 19 Februari 2012
say goodbye
Cerita adalah kehidupan
Mimpi, angan, asa, berada dalam lingkupan
Meraih kegagalan, menjadi suatu keterpurukan
Kini hanya ada aku dan kesendirian
Ketika tak ada lagi sepenggal harapan
Ketika hati ini terbelenggu suatu kesengsaraan
Ketika tak ada lagi yang mempedulikan
Bahkan mendengarkan
Terlarut
aku dalam suatu kenangan
Kasih
sayang dan suatu bentuk perhatian
Tenggelam
dalam suatu kisah percintaan
Pihak
ketiga menjadi suatu hal yang
menyenangkan
Segalanya
menjadi terabaikan
Selama rasa ini ada, selama itu pula kan bertahan
Namun semuanya tak seindah dugaan
Semua berakhir dengan penyesalan
Tak dapat lari dari suatu kebimbangan
Suatu hal tersulit untuk memutuskan
Ternyata
hanya akan berakhir dengan suatu kepahitan
Mungkin
belum waktunya aku merasakan ketulusan
Saatnya
bangkit dari keterpurukan
Bukan
cinta tetapi cita dalam suatu impian
Ingin
rasanya terbang dalam suatu angan
Berlari
hingga tergapainya masa depan
cerpen---20-2-2012
THE MEANING OF MY LIFE
Gemercik air hujan masih terdengar petang ini.
Kuberikan jaketku yang tebal pada adik tiriku
yang menggigil kedinginan. Kami berdua duduk di ruang tamu untuk menunggu ayah
pulang. Ruangan ini terasa begitu besar dan pengap, air hujan yang menetes dari
genteng yang bocor terasa bagai irama nan sendu ketika ayah tak kunjung cepat
pulang. Gubuk kami yang terletak di pedesaan Kabupaten Tuban memang berada di
daerah yang terpencil, sehingga di waktu hujan seperti ini, sepeda tua ayah sering terperosok, sehingga kadang ayah
memilih untuk menuntun sepeda kesayangannya itu daripada menaikinya. Ayahku
sosok pekerja keras yang sangat rendah hati, sehingga setelah beliau memperoleh
gelar S.Pd, beliau mengabdikan dirinya di sebuah sekolah pelosok yang gajinya
memang tidak seberapa. Namun karena kegigihannya, Beliau di angkat menjadi
kepala sekolah yang bahkan dari tiga bulan yang lalu sampai saat ini beliau
tidak menerima gaji selayaknya kepala sekolah. Ayah selalu mengajarkanku untuk
selalu bersyukur atas apa yang kita peroleh, tapi bukan berarti pasrah, namun
keterbatasan membuat diri kita selalu berjuang untuk mendapatkan anugerah yang
lebih baik. Sedikit tapi bermanfaat, itulah kata-kata yang selalu beliau
sampaikan padaku. Walaupun memang penghasilan ayah tidak seberapa, namun ibu tiriku
membuka kios kelontong kecil-kecilan di rumah, kadang membuat kue-kue pasar
yang nanti ayah juga menjualnya di kantin sekolah. Tetangga-tetanggaku juga
sering memberikan cukup beras dan “nasi berkat” karena memang kehidupan di desa
yang masih sering mengadakan syukuran dan pengajian, sehingga dari sejak ibu
kandungku meninggal setelah melahirkanku hingga sekarang, aku tak pernah merasa
kekurangan. Dan aku merestui ketika
ayahku menikah lagi dengan wanita yang
saat ini tengah membuatkan teh hangat untuknya. Walaupun memang aku tidak
begitu akrab dengannya, namun aku menyayangi adik tiriku, aku yakin wanita ini yang dapat
menerima keadaan ayahku, apapun dan bagaimanapun itu.
Hari ini merupakan hari yang terpenting
bagiku, setelah aku lulus dari sebuah SMA Negeri di Tuban dan melalang buana
untuk mencari ilmu lagi di sebuah universitas di kota-kota lain, dengan segala
tekad dan nekad, akhirnya aku diterima di universitas yang lumayan kata
orang-orang kota, namun bagiku itu suatu hal yang sangat istimewa, buktinya,
tak ada satu orangpun yang tahu universitas itu.
Ketika
aku berlari dari kantor pos yang hanya berjarak kurang dari satu kilo dari
gubukku, dan banyak yang bertanya padaku,
“
Girang sekali kau Cong1, ono opo?”
Cong
adalah panggilan untuk anak lelaki di desaku.
“Ini
Lek, aku di terima di universitas negeri di Surabaya, Institut Teknik Harapan
Jaya, seneng aku”, jawabku sambil meringis”.
“Lhoalah
opo iku? Kok gak kerja wae Cong? Kasihan bapakmu…”
Dan
inilah yang selalu diucapkan hampir semua orang yang kutemui hari ini, sebagian
lagi hanya mengucapkan selamat dan semoga ayahku kuat membiayaiku kuliah.
Rasanya aku menyesal dengan kegembiraanku hari ini.
Telah terdengar suara surau dari
kejauhan yang menyadarkanku dari semua lamunan ini. Terlihat ayah yang basah
kuyup dengan tas kerja lusuhnya tersimpan dalam tas kresek besar agar air hujan
tidak merusak dokumen penting di tasnya. Ibu tiriku langsung menghampiri
beliau,
“Ndak
apa-apa to Pak? Wonten teh anget niku, tak bethaaken tasipun” (tidak apa-apa Pak? Ada teh hangat itu, saya
bawa tasnya)
“Nggih
Bu, lha iku sing enak”, (iya Bu, lha itu
yang enak) jawab ayah sambil mencium kening ibu tiriku.
Melihat
ayah yang sering basah kuyup akhir-akhir ini karena musim hujan, aku segera
mengambil handuk ayah di gantungan dekat kamar mandi dan memberikannya pada
ayah. Tubuh ayahku yang terlihat semakin kurus tiap harinya, tak bisa
memungkiri bahwa dirinya menggigil kedinginan. Ingin rasanya aku menggantikannya,
mengapa bukan diriku saja, yang lebih kuat dari ayahku,yang harus banting
tulang. Namun pada kenyataanya aku memang seorang anak yang tak bisa berbuat
apa-apa untuk membantu ayah.
“Heh
Mad, kok diem wae tho? Kene lungguh dhisik. Katane Ibu ada yang mau kamu
1. Cong: Panggilan anak lelaki untuk
daerah Tuban
bicaraken
ke Bapak, opo?” (heh Mad, kok diam saja?
Sini duduk dulu, kata Ibu ada yang mau kamu bicarakan ke Bapak, apa itu?) tanya
ayah sambil menikmati teh hangat buatan Ibu tiriku.
“Eh,
gini Pak,Mamad cuma mau bilang kalo…. Kalo..hmmm…”
Tiba-tiba
perasaanku jadi tidak karuan, antara ingin memberitahukan bahwa aku di terima
di Universitas Negeri, tapi aku tidak tega melihat ayahku harus banting tulang
lagi. Hatikku mulai berkecamuk, aku ingin bekerja saja, namun aku juga tidak
ingin pendidikanku terhenti sampai SMA saja.
“
Abang di terima Pak, di Institut Teknik Harapan Jaya pula. Abang hebat Pak,”
sahut adikku tiba-tiba.
Aku
tersentak, dan ayah langsung terbelalak antara kaget, tidak percaya, dan aku
tak tahu apa lagi yang ada di benaknya saat ini. Beliau yang dulu tidak tahu
tentang kepergianku ke Surabaya untuk mengikuti tes tersebut, sekarang
mengetahui bahwa anaknya bisa diterima di universitas kebanggaannya. Ayah
memang pernah bertekad menyekolahkan abangku di universitas tersebut, namun
karena abang ingin cepat bekerja walau hanya lulusan SMA, jadi ayah tidak
memaksakannya. Memang saat pelaksanaan
tes di universitas itu, aku izin pada ayah untuk berlibur bersama teman-temanku
sekelas, karena memang saat itu sudah libur kelulusan. Aku hanya bermodalkan
nekad saja, tidak tahu arah dan tidak ada cukup uang, namun hanya keyakinan
saja yang aku punya. Setelah bertanya kesana kemari, walaupun belum membuat
SIM, namun ternyata aku sampai di tujuan. Uang pendaftaran saja aku peroleh
dari tabunganku dan tabungan abang, karena aku tidak berani untuk meminta pada
ayah, sehingga aku terpaksa berbohong pada beliau tentang tujuan
keberangkatanku.
“Subhanallah,
Alhamdulillah,, Anakku…. Bapak, Bapak…Bapak tidak dapat berkata apa-apa lagi,
Terimakasih Ya Allah,” kata ayah dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Terlihat
Ayah begitu puas mendengar berita ini, dan aku tidak menyangka Ayah akan
seperti ini. Tubuhku serasa ingin jatuh ke pelukan Ayah,dan ternyata hal ini
sudah terjadi tanpa aku sadari. Ayah mendekapku begitu erat, begitupula adik
kecilku yang lucu ini. Ibu tiriku benar-benar tersentuh melihat hal ini, segera
memegang bahu ayahku sambil sedikit memijatnya perlahan. Dan aku benar-benar
merasakan kebahagiaan yang nyata dalam kehangatan keluargaku.
“Mamad
pasti cari beasiswa Pak, Bapak tidak perlu memikirkan biaya kuliahku. Mamad
janji akan bersungguh-sungguh untuk ini, “ bisikku pada Ayah dengan sedikit
sesenggukan.
“Mad,
Bapak memang tak punya cukup uang, tapi inilah harapan Bapak. Orang tua wajib
membiayai anaknya, kamu tidak perlu takut tentang biaya, itu urusan Bapak dan
Ibu, Kami seneng anak Bapak bisa berpendidikan lebih, karena itu yang
mengangkat derajat kehidupan kita kelak,” jawab Ayah sambil mengusap kepalaku.
“Abang
yang akan bantu Mamad Pak, Mamad juga akan ke Surabaya secepatnya untuk mengajukan
beasiswa, karena di surat pemberitahuan tertulis untuk mahasiswa kurang mampu,
bisa mengajukan beasiswa ke rektorat sampai minggu depan,” sahutku.
Ayah hanya tersenyum bangga. Ibu
segera menyiapkan makan malam untuk kami sekeluarga. Malam ini hujan terus
mengguyur desa kami, terasa begitu sejuk ketika aku merasakan kehangatan di
hati ini. Tak lupa aku mengucap syukur berkali-kali. Kuucapkan selamat malam
pada langit yang masih memerah mendung dan kepada bidadari tercantikku yang ada
di seberang sana sedang merindukanku. Lengkap sudah hidupku kali ini.
************
Tanggal 20 Agustus tepatnya aku
menginjakkan kakiku lagi di Kota Pahlawan ini, bukan untuk sehari dua hari
saja, tapi untuk tiga tahun kedepan. Aku memang tidak membawa barang yang
begitu banyak, karena memang tidak begitu banyak barang yang aku butuhkan dan
di rumahku pun juga tidak ada barang yang banyak. Setelah beberapa bulan aku
menunggu hari ini, berpamitan pada orang tua, seluruh orang di kampungku, serta
gadis tercantik yang ku kenal di bangku SMA, dan aku harus meninggalkan mereka
semua. Semuanya yang menjadi kenangan terindah. Dan apa yang akan aku hadapi di
kehidupanku sekarang? Kota besar yang padat penduduk, panas yang menyengat,
bahkan polusi yang tersebar hampir di seluruh penjuru kota.
Awalnya aku mulai sedikit bermain-main dengan keadaan
baruku. Kebebasan yang aku peroleh saat ini, begitu terasa hidup. Jurusanku
yang memang dikuasai oleh lelaki dan hanya terdapat segelintir perempuan,
membuat aku sering “cangkrukan” alias nongkrong di pinggir jalan sambil “ngopi”
sampai hampir subuh. Teman-temanku yang sering mengajariku untuk berkata
hal-hal yang memang tidak sepatutnya di ucapkan, sudah fasih aku
mengucapkannya. Bahkan gadis tercantikku sudah menjadi nomor dua dalam
pikiranku, karena ternyata di kota ini, banyak sekali gadis cantik yang berlenggok
di hadapan umum dengan pakaian minim, sungguh surga dunia.
Gadisku yang saat ini jauh di
Bandung harus menjalani hubungan jarak jauh denganku. Dan memang sebagai lelaki
aku masih belum bisa mengendalikan emosiku. Kadang kalut dan rindu tidak ada
bedanya. Sari memang sangat mengertiku. Kesabarannya yang selalu membuatku
tidak dapat berpaling darinya. Namun jarak memang mengganggu hubungan kita.
Tetapi aku mulai tidak menghiraukan keadaan ini.
***********
Ospek jurusan dimulai. Di pagi buta
ini aku harus berkumpul di halaman kampus untuk outbond, begitu informasi yang
kudapat dari senior kemarin. Kami para mahasiswa baru di perintahkan untuk
mengenakan baju berwarna hitam, celana panjang berwarna biru donker, sepatu
bertalikan rafia, dan rambut yang diharuskan sama satu angkatan.tentulah
angkatanku sepakat untuk memangkas habis rambut ini, walaupun karena terlalu
panjang liburan, rambutku sudah semakin terlihat ikal. Selain itu, kami
diharuskan untuk membawa tas kresek besar berwarna merah sebagai tas kami.
Belum cukup hanya itu, tetapi kami ditugaskan untuk membawa air mineral tanpa
merk 140lt dan peyek teri dengan ikan teri yang harus dalam posisi berdiri.
Parahnya lagi aku mengetahui informasinya kemarin. Begitu pusing otakku
memikirkan tugas yang sama sekali tidak penting dari para senior sinting ini.
Dan akhirnya aku tidak tidur semalaman untuk menggoreng sebuah peyek teri.
“Jalan
jongkok,Dek!!”, seru para senior bego yang kurang kerjaan.
“Tutup
telinga, pandangan kebawah, ojok tolah toleh wae (jangan menoleh saja)!”,
tambah senior yang lain.
“He!
Kamu! Berdiri! Seenaknya tidur disini! Kamu gak niat ya?”, sentak salah satu
senior kribo sambil menyundul kepalaku.
“Ha?
Iya Mas? Kenapa?”, sahutku sambil gelagapan.Tak terasa aku tertidur saat
dibarisan tadi.
“Maksud
kamu apa tidur saat seperti ini? Gak sopan!! Push up!!”, kata senior itu dengan
nada tinggi.
“Maaf
Mas, tadi malam saya tidak sempat tidur, dan saya tidak sadar saat tertidur
tadi Mas, maaf”, sahutku dengan kepala menunduk.
“Saya
tidak perlu penjelasan! Push Up 20 kali! Cepat!!”, sentaknya dengan mata
melotot.
Cukup sudah penderitaanku hari ini.
Badanku benar-benar letih, sakit semua, dan sudah tak sanggup lagi untuk
menahan kantukku. Hari sudah menjelang larut malam. Sekitar pukul 23.00 WIB
akhirnya para senior tengil membolehkan kita pulang setelah melakukan semua
keinginan mereka dan setelah mereka puas tentunya. Seharian aku tidak dapat
memegang telepon genggamku, dan aku sudah tak menghiraukan pesan-pesan yang
masuk. Langsung aku rebahkan tubuh ini, dan menuju dunia yang begitu indah.
Langit yang mendung, kabut yang
menyeruak di tengah tempat aku berdiri saat ini di tempat yang sidah taka sing
bagiku. Rumah ini terasa begitu haru ketika lampu yang menyinarinya semakin
redup. Sosok lelaki tua yang tengah duduk di ruang tamu sendirian hanya
tersenyum padaku dengan matanya yang begitu sayu, seolah menggambarkan bahwa beliau
sangat bahagia memilikiku.
“Bapak….”
Panggilku pada sosok lelaki itu.
Namun
tak ada jawaban dari mulutnya. Aku bergerak mendekatinya, dan ayah menyambutnya
dengan mengusap kepalaku. Matanya kembali melihatku kemudian beralih melihat
sosok lain di belakangku, abang, adik, dan ibu tiriku. Mereka berdiri sambil
menangis tak tahu mengapa. Rasanya kepalaku semakin berat, nafasku serasa
sesak, serta keringat dingin mulai keluar dari pori-poriku. “GUBRAK!!!”.
Aku
terjatuh dari tempat tidurku, dan ternyata tadi hanya mimpi. Aku melihat jam
sambil mengusap mataku. Namun karena begitu gelap, aku meraba meja dekat tempat
tidurku untuk mencari telepon genggamku. Masih terlalu pagi ternyata untuk
bangun di tengah kelelahanku ini. Tepat pukul 03.00 WIB, aku terbangun
gara-gara mimpi yang aku tak tahu apa artinya. Saat kuputuskan untuk tidur
kembali, rasanya ada yang ganjil dari mimpiku barusan. Karena tak dapat
memejamkan mata untuk beberapa saat, aku putuskan untuk membaca pesan yang
masuk di telepon genggamku yang sudah kuno ini. Ada 12 pesan, dan aku membuka
satu persatu. Pesan yang pertama dari pacarku, Sari, dia memintaku untuk tidak
menghubunginya lagi. Dan aku memutuskan untuk tidak membalasnya.
Pesan
yang selanjutnya dari abangku. Pesan ini merubah semua yang ada di benakku saat
ini. Tanganku gemetar dan mulutku sudah tak bisa berucap apapun kecuali,
Innalillahi wa Inna ilaihi rajiun. Aku tak bisa mempercayai hal ini akan
terjadi secepat ini, bahwa aku telah menjadi yatim piatu. Tak cukupkah Tuhan
mengambil ibuku yang bahkan aku belum sempat mengenalnya, dan sekarang aku
harus menghadapi keadaan bahwa ayahku juga harus meninggalkanku untuk
selamanya. Bahkan aku tak dapat melihatnya untuk terakhir kali ataupun
menemaninya di saat-saat kritisnya dan mengungkapkan bahwa diriku sangat
menyayangi beliau.
Kuambil
ransel dan dompetku, segera aku bersiap untuk pulang ke Tuban. Aku tidak
mempedulikan apapun, hanya ayah dan ayah yang ada di benakku. Walaupun besok
ada ospek tambahan, kumpul satu angkatan, dan asistensi2
untuk mata kuliahku, aku sama sekali tidak peduli. Kukendarai motor pinjaman
dari teman sekamarku, otakku sudah tak dapat berpikir apapun, dan hanya
penyesalan yang ada dalam benakku. Aku yang selama ini hanya memikirkan diriku
saja tanpa harus tahu keadaan orang tuaku, aku yang selama ini hanya
bersenag-senang tanpa memikirkan ayahku yang bekerja keras untuk kuliahku, dan
aku yang begitu bodoh baru membaca pesan tersebut, pesan yang sudah dikirim
sejak tadi pagi, dan hanya gara-gara ospek tidak penting itu aku harus
mengabaikan pesan yang begitu penting ini. Aku mulai menyalahkan orang lain,
hatiku berkecamuk, seandainya aku tidak diterima di kampus ini, aku akan selalu
ada
2. Asistensi : laporan hasil praktikum
dari suatu mata kuliah
untuk
ayah, aku dapat membantu ayah kapanpun beliau membutuhkanku, dan aku tidak
terjebak dalam kesenangan sesaat di kota besar ini. Aku begitu menyesali
hidupku, menyesali takdir yang harus aku terima.
Sesampainya
aku di kampungku, orang-orang sudah banyak berkumpul dirumahku walaupun masih
pagi. Air mata ini sudah tak dapat ku tahan lagi, ayah sudah dimakamkan dan aku
tak dapat melihatnya untuk terakhir kali. Keluargaku terlihat duduk di ruang
keluarga sambil duduk melingkar membaca ayat suci. Abang yang pertama kali
melihat kehdiranku, langsung memelukku erat. Air mata ini semakin deras,
membuktikan bahwa aku lemah sebagai seorang lelaki yang tak dapat berbuat
apa-apa untuk keluarganya sendiri.
Abang
membawaku keluar kearah kebun belakang rumah, disini ia berkata sedikit tentang
ayah.
“
Tak ada gunanya dirimu menyesali semua ini, ini bukan akhir dari segalanya
melainkan awal dari segalanya. Air mata tidak akan membuat ayah bahagia disana.
Lihat sinar matahari yang menyinarimu saat ini, seperti itulah perhatian ayah
kepada kita, tak akan pernah ada kata-kata lelah walaupun kita tidak dapat
melihatnya, namun akan selalu kita rasakan. Ayah ingin kita menjadi kuat
sebagai lelaki, kau tak usah kawatir tentang kuliahmu, kau hanya perlu
bersungguh-sungguh, dan percayalah bahwa kebahagian bukan berasal dari materi,
adanya orang tua yang membimbing dan menyayangi kita setiap hari, tetapi
kebahagiaan ada di sekitar kita, jangan rasakan kepedihan ini, namun belajarlah
untuk ikhlas, dan kamu akan tenang rasanya”, kata abangku dan ia membiarkanku
sendiri untuk beberapa saat.
Ayah memang sosok yang selalu ikhlas
dalam menjalani hidupnya. Beliau tak pernah mengeluh, tak pernah merasakan
kepedihan yang sebenarnya beliau derita, namun dengan kasih saying, dengan
kesabaran, dengan kegigihan, beliau menjadi sosok yang luar biasa di masyarakat
bahkan di mataku beliau adalah pahlawan yang paling kuat. Darah yang mengalir
padaku adalah darah ayahku, dimana aku akan melanjutkan apapun yang beliau
lakukan demi orang-orang tersayangnya.
Aku
tak akan menyerah dengan keadaan. Sudah
bukan waktunya aku hidup dalam dunia “seandainya” lagi. Aku menegakkan kepalaku
dan berjalan masuk ke dalam. Ternyata di sana sudah banyak teman-teman kuliahku
yang datang memberikan semangat buatku, bukan hanya itu, tetapi para senior
yang begitu keras di mataku, ternyata juga datang untuk sekedar memberikan
wejangan tentang kehidupan. Aku salah telah menilai semua ini.
***********
Hari-hariku
tak lagi kujalani dengan penyesalan, memang tak ada seorang gadis lagi yang
menyayangiku, tak ada orang tua yang selalu merindukan anaknya, namun ada cinta
dan kasih sayang yang selalu aku dapatkan tiap harinya dari orang-orang di
sekelilingku. Cahaya matahari membuktikan bahwa ayah dan ibuku masih selalu
memberiku semangat untuk melakukan hal yang bermanfaat tiap harinya. Disaat
teman-temanku selalu mengeluh tentang uang, aku hanya bisa tersenyum. Disaat
temen-temanku hanya fokus untuk belajar di bangku kuliah, aku belajar di segala
tempat yang aku datangi. Kehadiran banyak teman disampingku membuat aku semakin
merasa bahagia dan bersyukur telah dianugerahi teman-teman yang selalu
membantuku, memperhatikanku, dan memberiku semangat yang luar biasa hebat.
Pelajaran dalam hidupku yang paling berharga adalah bahwa kehidupan kita ini
hanya beberapa saat, dan saatnya kita berguna untuk orang lain, bukan haya
memikirkan diri sendiri. Ayah yang telah memberikanku pelajaran tentang
kebahagiaan hidup, bahagia tidak dapat dicari, karena semakin kita mencari,
semakin kita tak akan mendapatkannya, namun kebahagiaan yang sesungguhnya ada
di sekitar kita,rasakanlah dan nikmatilah. Hidup ini bukan dapat kita jalani
tetapi sulit, melainkan hidup ini sulit namun kita bisa menjalaninya. Dan aku
bersyukur telah dilahirkan sebagai Mamad Jatikusumo.
NARASI:
Mamad Jatikusumo, lelaki yang
berasal dari keluarga yang penuh dengan keterbatasan materi, namun memiliki
tekad kuat untuk mewujidkan keinginan dirinya sendiri serta ayahnya.
Bermodalkan niat dan nekad, ia akhirnya di terima di sebuah Universitas Negeri
di Surabaya. Namun, setelah menjalani kehidupan kota yang penuh dengan situasi
yang menyenangkan, ternyata ia harus menghadapi kenyataan bahwa ayahnya,sosok
yang sangat ia sayangi meninggal dunia dan di saat yang bersamaan ia di
tinggalkan oleh gadis tercintanya. Hidupnya yang terasa lengkap, hancur sudah
melihat takdir yang sudah menjadi suratan Tuhan bahwa saat ini dia telah
menjadi seorang yatim piatu. Namun, dengan bantuan orang-orang di sekitarnya,
ia dapat merasakan apa itu kehidupan yang bahagia sesungguhnya. Memandang
kehidupan secara luas, bukan hanya dari satu sisi, membuat dirinya begitu
spesial di lingkungannya. Keikhlasan membuat seorang Mamad Jatikusumo bangkit
untuk mengetahui arti kehidupan.
Sabtu, 18 Februari 2012
18 Februari 2012- first time
jika sendiri janganlah merasa sepi,ada Allah yg sedang mengawasi..jika sedih janganlah pendam di hati,ada Allah tempat berbagi..jika gagal janganlah putus asa,ada Allah tempat meminta...jika bahagia janganlah menjadi lupa,ada Allah tempat memuja...Ingatlah Allah selalu ukirkan nama-Nya di hatimuRindui Dia di setiap langkahmuCintai Dia tetap no satuAllah selalu bersama mu dan senantiasa memberikan yang terbaik dalam hidupmu
Langganan:
Postingan (Atom)